Nikmati momen bersantai dengan secangkir kopi di kompleks Candi Muaro Jambi

 Kompleks Candi Muaro Jambi masih menjadi destinasi yang dicari wisatawan, menarik pengunjung dari dekat maupun jauh. Situs ini memiliki lebih dari 80 reruntuhan candi, yang menawarkan sekilas makna sejarah pusat pendidikan ini sejak abad IX-XV Masehi. Terletak dekat dengan pusat kota Jambi, kompleks candi ini mudah diakses melalui jalan yang terawat baik, sehingga memudahkan wisatawan untuk menjelajahi permata budaya ini. Baik pengunjung tertarik pada sejarah, budaya, aspek sosial, atau agama, kompleks Candi Muaro Jambi memberikan pengalaman yang kaya bagi semua.

source: wikipedia.org


Wisatawan dapat menikmati keindahan reruntuhan candi sambil menikmati momen bersantai dengan secangkir kopi yang tersedia di dalam kompleks Candi Muaro Jambi.. Suasana tenang ini menawarkan perpaduan sempurna antara sejarah, budaya, dan rekreasi, menjadikannya destinasi serbaguna bagi wisatawan yang mencari pengalaman menyeluruh.

Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi Hindu-Budha terbesar di Asia Tenggara, seluas 3.981 hektar. Dipercaya sebagai peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, di sepanjang tepian Sungai Batang Hari, kurang lebih 26 kilometer sebelah timur Kota Jambi. Koordinatnya Selatan 01⁰ 28'3" Timur 103⁰ 40'04". Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke 7 – 12 Masehi.

Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi terbesar dan paling terpelihara di Pulau Sumatera. Sejak tahun 2009, Kompleks Candi Muaro Jambi masuk nominasi UNESCO menjadi Situs Warisan Dunia. Kompleks candi merupakan situs sejarah dan budaya yang penting, menampilkan kekayaan warisan daerah dan menarik pengunjung dari seluruh dunia untuk mengagumi keindahan arsitektur dan artistiknya.

Ukiran dan struktur Candi Muaro Jambi yang rumit mencerminkan ketrampilan canggih dan makna keagamaan dari peradaban kuno yang pernah berkembang di wilayah tersebut. Sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO yang potensial, kompleks candi ini memiliki arti penting dalam melestarikan dan mempromosikan sejarah dan warisan Indonesia. Pengunjung Candi Muaro Jambi dapat menyelami kekayaan budaya masa lalu, memperoleh wawasan tentang pencapaian spiritual dan artistik dari kerajaan-kerajaan kuno yang meninggalkan keajaiban arsitektur yang luar biasa ini.

Kompleks Candi Muaro Jambi terletak di tanggul kuno Sungai Batanghari. Meliputi area seluas 12 kilometer persegi, panjangnya lebih dari 7 kilometer dan membentang seluas 260 hektar di sepanjang jalur sungai. Di situs tersebut terdapat 110 candi yang sebagian besar masih berupa gundukan tanah (menapo) yang belum digali. Di dalam kompleks candi ini juga terdapat beberapa bangunan yang dipengaruhi agama Hindu.

Selain candi, kompleks ini juga memiliki kanal atau saluran kuno buatan, kolam untuk penyimpanan air, dan gundukan tanah yang berisi struktur batu bata kuno. Setidaknya 85 menapo saat ini dimiliki oleh warga sekitar di dalam kompleks tersebut. Selain peninggalan arsitektural, ditemukan juga berbagai artefak antara lain arca prajnaparamita, dwarapala, gajahsimha, alas batu, lesung batu, gong perunggu bertulisan Cina, mantra Buddha yang ditulis di atas kertas emas, keramik luar negeri, tembikar, periuk besar perunggu, Cina mata uang, manik-manik, batu bata bertulis dan bergambar, pecahan patung batu, batu mulia, serta pecahan besi dan perunggu. Selain candi, gundukan kecil buatan (gunung kecil) juga ditemukan di kompleks tersebut. Masyarakat setempat menyebut gunung kecil tersebut dengan sebutan Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.

Kompleks arkeologi Muaro Jambi pertama kali dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke, yang melakukan pemetaan daerah aliran sungai untuk keperluan militer. Baru pada tahun 1975 pemerintah Indonesia memulai upaya restorasi yang serius yang dipimpin oleh R. Soekmono. Berdasarkan aksara Jawa kuno yang ditemukan pada beberapa lempengan, ahli epigrafi Boechari menyimpulkan bahwa peninggalan tersebut berasal dari abad 7-12 Masehi. Saat ini, baru sembilan bangunan yang dipugar di situs ini, dan semuanya memiliki pengaruh Buddha. Kesembilan candi tersebut adalah Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano.

Di antara sekian banyak penemuan, Junus Satrio Atmodjo menyimpulkan bahwa kawasan tersebut pernah dihuni dan menjadi tempat bertemunya berbagai budaya. Manik-manik dari Persia, Cina, dan India telah ditemukan, menunjukkan pengaruh budaya yang beragam. Agama Budha Mahayana Tantrayana diyakini sebagai agama mayoritas, terbukti dengan ditemukannya lempengan-lempengan bertuliskan "wajra" di beberapa candi membentuk mandala.