Gendang Beleq
Tarian Gendang Besar telah menjadi warisan budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat dan tarian ini sering digunakan untuk menyambut tamu penting yang diundang sebagai bentuk penghormatan. Gendang Beleq adalah simbol penting dari kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Sasak di Lombok. Dalam setiap penampilannya, Gendang Beleq menggambarkan keindahan dan kekuatan budaya lokal yang harus dilestarikan.
Musik Gendang Beleq dimainkan secara berkelompok dengan irama yang kuat dan penuh semangat. Para penari dan pemain musik Gendang Beleq menampilkan gerakan yang enerjik dan penuh kekompakan. Melalui tarian dan musik Gendang Beleq, masyarakat NTB dapat mengekspresikan rasa syukur dan kegembiraan atas kedatangan tamu penting serta memperkuat hubungan antarmanusia.
Keberadaan Gendang Beleq sebagai bagian dari warisan budaya NTB harus terus dijaga dan dilestarikan agar generasi mendatang dapat terus merasakan kekayaan budaya yang dimiliki. Dengan memahami makna dan nilai dari Gendang Beleq, diharapkan masyarakat dapat lebih mencintai dan melestarikan tradisi-tradisi lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Indonesia.
Tari Gandrung
Tari Gandrung sering dipertunjukkan dalam berbagai acara resmi maupun acara lainnya. Salah satu ciri khas dari kostum tari Gandrung adalah Gegelung, yaitu hiasan kepala yang terbuat dari bunga kamboja yang menghiasi bagian belakang kepala.
Tari Gandrung merupakan salah satu tarian yang terkenal dalam budaya Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tarian ini dapat ditarikan oleh perempuan maupun laki-laki. Tarian Gandrung di Lombok memiliki nama yang sama dengan tarian gandrung di Banyuwangi dan Bali. Tarian ini melambangkan kegembiraan dan biasanya dipertunjukkan di desa setelah panen raya.
Tari Gandrung sering kali menjadi daya tarik dalam berbagai acara formal maupun non-formal. Salah satu ciri khas dari kostum tari Gandrung adalah adanya Gegelung, yaitu hiasan kepala yang terdiri dari bunga kamboja yang menghiasi bagian belakang kepala. Tarian ini merupakan bagian dari kebudayaan Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan dapat ditarikan oleh perempuan maupun laki-laki. Tarian Gandrung ini melambangkan kebahagiaan dan sering dipertunjukkan di desa setelah panen raya.
Perang Topat
Perang Topat adalah sebuah tradisi perang yang unik di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam perang ini, masyarakat melempar ketupat yang dibungkus daun palem dalam bentuk kurva berlian. Tradisi ini dimulai dengan prosesi Topat yang mengelilingi sesaji makanan, buah-buahan, dan tanaman sebagai simbol dan tujuan para pemain prosesi. Perang Topat ini menjadi acara yang sangat penting bagi masyarakat Sasak dan juga melibatkan beberapa tokoh agama Hindu di Lombok.
Perang Topat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar, Lombok. Acara ini memiliki makna perdamaian antara umat Muslim dan Hindu di Lombok. Perang ini dilakukan pada sore hari, tepatnya pada bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak. Puncak acara ini dilakukan setelah salat ashar dan dikenal dengan sebutan "rarak kembang waru" atau gugur bunga waru dalam bahasa Sasak. Ribuan umat Hindu dan Muslim berkumpul di Pura Lingsar untuk mengikuti prosesi upacara Puja Wali, sebagai ungkapan rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh sang pencipta.
Dalam Perang Topat, masyarakat muslim dan hindu saling melempar ketupat. Ketupat yang digunakan dalam perang ini sering kali diperebutkan, karena dipercaya dapat membawa kesuburan bagi tanaman dan hasil panen yang melimpah. Kepercayaan ini telah berlangsung selama ratusan tahun dan masih terus dijalankan hingga saat ini. Perang Topat menjadi simbol kebersamaan dan toleransi antara umat Muslim dan Hindu di Lombok, serta menjadi bagian penting dari warisan budaya yang harus dilestarikan.
Peresean
Peresean merupakan salah satu seni bela diri yang sedang berkembang di pulau Lombok. Dalam tradisinya, pertarungan antara dua lelaki bersenjatakan tongkat rotan dan perisai kulit kerbau yang tebal dilakukan dengan penuh semangat. Petarung dalam Peresean disebut pepadu, sementara wasitnya disebut pakembar. Seni bela diri ini merupakan bagian dari seni tari daerah Lombok yang kaya akan budaya dan sejarah.
Sejarah Peresean sendiri sudah ada sejak abad ke-13, dimulai dari ritual masyarakat agraris Lombok untuk memohon hujan pada musim kemarau. Selain sebagai ritual, Peresean juga merupakan seni bela diri yang sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Lombok. Awalnya, Peresean adalah semacam latihan pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya akar budaya dan tradisi Peresean di masyarakat suku Sasak.
Dengan keunikan senjata dan perisai yang digunakan, Peresean menjadi salah satu seni bela diri yang menarik perhatian banyak orang. Kombinasi antara keindahan gerakan tari dan kekuatan dalam pertarungan membuat Peresean menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Lombok. Diharapkan, keberadaan Peresean dapat terus dilestarikan dan dikembangkan agar generasi mendatang juga dapat menikmati keindahan dan kekuatan seni bela diri tradisional ini.
Proses permainan peresean dimulai dengan dua pekembar yang bertindak sebagai wasit mencari calon petarung atau pepadu yang seimbang dari orang-orang yang hadir atau dari pepadu yang mengajukan diri sendiri. Pepadu yang dipilih akan memakai ikat kepala dan kain pengikat pinggang, serta diberi sirih untuk dikunyah. Dalam pertarungan, pepadu akan menggunakan sebilah rotan sebagai senjata dan perisai kayu yang dilapisi kulit sapi atau kerbau.
Selama pertarungan berlangsung, gamelan sasak akan mengiringi dengan tabuhan gendang, suling, gong, dan rincik dalam tempo cepat. Tembang khusus perisean yang bersifat mistis akan dinyanyikan untuk meningkatkan semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit akibat sabetan rotan. Pertarungan perisean akan dihentikan jika salah satu pepadu mengeluarkan darah atau jika pekembar memutuskan untuk menghentikan pertarungan.
Peresean dianggap sakral sehingga tidak diadakan secara sembarangan. Biasanya perisean diadakan menjelang perayaan khusus seperti ulang tahun kemerdekaan, hari jadi kabupaten/kota, atau menjelang bulan Ramadhan. Setelah pertarungan selesai, pepadu tidak membawa dendam keluar dari arena. Mereka akan saling bersalaman dan berpelukan, menunjukkan bahwa segalanya dimulai dan berakhir di dalam arena.