Makna sejarah Keraton Surakarta berakar kuat pada kekayaan warisan budaya

Keraton Surakarta Hadiningrat atau dikenal juga dengan Keraton Surakarta adalah istana resmi Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di kota Surakarta. Didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II sekitar tahun 1743-1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang rusak akibat peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1743, arsitektur dan tata ruang Keraton Surakarta memiliki kemiripan dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang dibangun kemudian, yang berfungsi sebagai keraton. Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisional, Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Luas wilayah Keraton Surakarta adalah 157 hektar, meliputi seluruh wilayah di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan Masjid Agung Surakarta. Sedangkan luas inti keraton seluas 15 hektar.



Makna historis Keraton Surakarta berakar kuat pada warisan budaya yang kaya di wilayah tersebut, yang mencerminkan arsitektur tradisional Jawa dan adat istiadat kerajaan. Sebagai simbol kekuasaan dan wibawa Kasunanan Surakarta Hadiningrat, kompleks keraton berdiri sebagai bukti peninggalan Kesultanan Mataram. Desain dan tata letak Keraton Surakarta yang cermat menampilkan ketrampilan rumit dan perhatian terhadap detail dalam konstruksinya, menjadikannya contoh warisan arsitektur Indonesia yang luar biasa.

Mengunjungi Keraton Surakarta menawarkan sekilas gaya hidup mewah keluarga kerajaan Jawa dan memberikan wawasan tentang makna sejarah dan budaya Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Lahan kompleks istana yang luas, dengan berbagai struktur dan ruang upacara, menawarkan pengunjung kesempatan unik untuk membenamkan diri dalam kemegahan masa lalu kerajaan Indonesia. Dengan menjelajahi Keraton Surakarta, seseorang dapat mengapresiasi keindahan arsitektur dan pentingnya sejarah dari landmark ikonik ini, yang terus menjadi kebanggaan masyarakat Surakarta.

Setelah Kasunanan Surakarta resmi menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks keraton masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Susuhunan (Sunan) dan rumah tangganya yang tetap menjunjung tinggi tradisi Kasunanan hingga saat ini. Keraton Surakarta kini juga menjadi salah satu tempat wisata andalan di kota Surakarta. Kompleks keraton sebagian terbuka untuk umum, dan di dalamnya terdapat museum yang menyimpan berbagai koleksi milik Sunanat, seperti oleh-oleh atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan alat musik gamelan.

Dari segi arsitekturnya, Keraton Surakarta adalah salah satu contoh terbaik arsitektur keraton Jawa, dengan aula mewah, halaman luas, dan paviliun. Desain dan tata letak istana yang rumit mencerminkan kekayaan warisan budaya dan makna sejarah Kasunanan Surakarta. Pengunjung istana dapat menyelami kemegahan masa lalu sambil menjelajahi berbagai ruangan dan pameran yang menampilkan gaya hidup kerajaan dan tradisi Sunanat.

Keraton Surakarta berdiri sebagai bukti warisan abadi Sunanat dan pentingnya sejarah Indonesia. Dengan melestarikan tradisi dan artefak Kasunanan, keraton ini berfungsi sebagai museum hidup yang mengedukasi pengunjung tentang kekayaan warisan budaya Surakarta. Baik mengagumi keindahan arsitektur keraton atau mempelajari sejarah Kasunanan melalui koleksinya, kunjungan ke Keraton Surakarta menawarkan sekilas gambaran masa lalu kerajaan Indonesia.


Sejarah

Kesultanan Mataram kacau balau akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677, sehingga menyebabkan Sri Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibu kota ke Keraton Kartasura. Pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana II, pada tahun 1742 terjadi perang besar yang mengakibatkan Mataram diserang oleh bangsa Tionghoa yang didukung oleh orang Jawa yang anti Belanda, dan Kartasura, pusat Mataram pada waktu itu, mengalami keruntuhan. . Kartasura akhirnya direbut kembali dengan bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Bangkalan dan sekutu Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), namun rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang sempat mengungsi ke Ponorogo kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.

Keraton Kartasura yang hancur dianggap "tercemar". Sri Susuhunan Pakubuwana II kemudian memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa, bersama Tumenggung Mangkuyudha dan panglima Belanda J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi baru ibu kota dan pembangunan istana baru. Setelah menemukan lokasi yang tepat, dibangunlah keraton baru sekitar 20 km tenggara Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tak jauh dari Sungai Bengawan Solo. Untuk pembangunan istana ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah senilai ribuan koin emas